- Terkait berita menghebohkan ditangkapnya Ketua MK oleh KPK tadi malam sekira pukul 22 tanggal 2 Oktober 2013 di kediamannya bersama 2 orang lainnya adalah sesuatu banget. Yang mana berita ini bisa mencoreng wajah hukum Indonesia.
Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
Jl. Medan Merdeka Barat No.6 Jakarta Pusat
1. SD Negeri I Putussibau
2. SD Negeri II Putussibau
3. SMP Negeri Putussibau
4. SMP Negeri 2 Singkawang
5. SMP Muhamadiyah Pontianak
6. SMA Muhamadiyah Pontianak
7. S1 Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak
8. S2 Magister Ilmu Hukum universitas Padjajaran Bandung
9. S3 Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bandung
Dr.
H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H., sebelum menjabat sebagai Hakim
Konstitusi, adalah anggota DPR RI dari Fraksi Golongan Karya. Berikut
ini pengalaman pekerjaan bapak Akil Mochtar sampai dengan saat ini:
1. Advokat/pengacara (1984-1999)
2. Anggota DPR/MPR RI Periode 1999-2004
3. Anggota DPR/MPR RI Periode 2004-2009
4. Wakil Ketua Komisi III DPR/MPR RI (bidang Hukum, perundang-undangan,
HAM dan Keamanan) Periode 2004-2006
5. Anggota Panitia Ad Hoc I MPR RI
6. Anggota Panitia Ad Hoc II MPR RI
7. Kuasa Hukum DPR RI untuk persidangan di Mahkamah Konstitusi
8. Anggota Tim Kerja Sosialisasi Putusan MPR RI
Pengalaman Organisasi:
1. Ketua OSIS SMA Muhamadiyah Pontianak
2. Ketua Ikatan Pelajar Muhamadiyah Pontianak
3. Pelajar Islam Indonesia
4. Ketua Alumni SMA Muhamadiyah Pontianak
5. Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Panca Bhakti Pontianak
6. Komandan Batalyon E Resimen Mahasiswa (Menwa) UPB
7. Ketua Alumni Menwa Kal-Bar
8. Ketua Alumni Universitas Panca Bhakti Pontianak
9. Wakil Ketua DPD I Partai Golkar Kalbar Tahun 1998-2003
10. Ketua Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Kalimantan Barat
11. Sekretaris Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Cab. Pontianak
12. Anggota Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) DPP Pemuda Pancasila
13. Anggota Majelis Pemuda Indonesia DPP KNPI
14. Pengurus Wilayah Muhamadiyah Kalbar
15. Ketua Pengurus Pusat Angkatan Muda Partai Golkar
16. Anggota Lembaga Hikmah Pengurus Pusat (PP) Muhammaddiyah
17. Ketua Umum Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia (FOMI) Kalbar
Periode 2006-2010
18. Ketua Umum Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Kalbar 2006-2009
Selama menjadi anggota DPR RI, beliau pernah menjadi:
1. Ketua Pansus RUU Undang-Undang Yayasan
2. Ketua pansus RUU tentang Jabatan Notaris
3. Ketua Pansus RUU Perseroan Terbatas
4. Ketua Panja RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
5. Ketua Panja Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi
6. Ketua Panja RUU tentang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal
Balik Dalam
Masalah Pidana antara RI dan RRC
7. Ketua Panja RUU tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
8. Ketua Panja RUU tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
9. Ketua Panja RUU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama (Banten,
Kepulauan
Bangka Belitung, Gorontalo, dan Maluku Utara)
10. Ketua Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dan lain-lain
Peraturan
Perundang-undangan.
M. AKIL MOCHTAR
Bagi
H. M. Akil Mochtar, hidup adalah perjuangan yang tak kenal henti.
Perjuangan tak mesti melahirkan sosok pahlawan yang selalu dipuja-puji,
bahkan perjuangan terkadang menuai caci maki. Meskipun demikian, pria
tegar yang lahir di Putussibau pada 18 Oktober 1960 ini tetap memiliki
komitmen tinggi untuk memperjuangkan keadilan bagi semua golongan dalam
kapasitasnya sebagai hakim konstitusi. Lalu, apakah ekspektasinya
tentang MK masa depan? Berikut kisah profilnya.
Selalu Ingin Menjadi Pejuang
Akil
Mochtar adalah hakim konstitusi yang memulai kariernya sebagai
pengacara. Setelah dua kali terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), ia mendapat amanah sebagai hakim konstitusi. Separuh
hidupnya dilalui untuk berjuang meraih pendidikan tinggi di tengah
keterbatasan dan kesederhanaan keluarga. From zero to hero, itulah usaha
kerasnya untuk menggapai gelar sarjana. Sebab, ia terlahir dari sebuah
keluarga besar di kampung yang tidak makmur. Untuk makan, terkadang
mereka mencampur beras dan jagung, umbi-umbian, atau bulgur. Disiplin
dan kerja keras yang ditanamkan sejak dini, akhirnya membentuk pribadi
Akil sebagai manusia tangguh.
Akil Mochtar, biasa dipanggil
Ujang, lahir pada 18 Oktober 1960 di Putussibau, ibukota Kabupaten
Kapuas Hulu, sebuah kota kecil berjarak 870 km dari Pontianak. Ayahnya,
H. Mochtar Anyoek dan ibunya, Junah Ismail (alm). Sejak di bangku SD,
Akil sangat bersahaja. Bahkan, kadang ia berangkat sekolah dengan
telanjang kaki selama setengah jam. Ia baru bersepatu kelas 2 SMP,
karena wajib. Untuk mendapatkan sepatu, ia harus memesan beberapa bulan
sebelumnya. Namun, ia tidak kehabisan akal. Ia meminta sepatu bot bekas
di asrama tentara. Bagian atasnya lalu dipotong. Maka bersepatulah Si
Ujang.
Anak keenam dari sembilan bersaudara ini sudah terbiasa
tinggal jauh dari orang tua sejak kelas 2 SMP. “Saya ikut kakak
perempuan, suaminya dinas ke Singkawang,” ujarnya. Ia lalu pindah lagi
ke Pontianak dan melanjutkan sekolah ke SMA Muhammadiyah I. Semasa SMA,
Akil aktif berorganisasi. Ia pernah menjadi Ketua OSIS, Ketua Ikatan
PelajarMuhammadiyah (IPM) Pontianak, dan Pelajar Islam Indonesia (PII).
Nilai Mulia dalam Keluarga
Waktu
kelas 4 SD, ia pernah diajak ayahnya mencari ikan di sungai pukul 02.00
dini hari. Meski mengantuk, ia menuruti perintah ayahnya. Karena tak
kuat menahan kantuk, begitu sampai di tengah sungai, perahu yang
ditumpanginya oleng. Akil tercebur. Rupanya, perahu itu sengaja digoyang
oleh ayahnya karena Akil tidak fokus mengendalikan perahu. Akil
menangis. Tapi ia lekas naik ke atas perahu karena tak berani melawan
orang tua. Dalam perjalanan pulang ia diberi tahu ayahnya, “Kalau kerja
itu benar-benar, jangan sambil main-main, jangan sambil tidur, ayah
nggak suka.”
Setelah dewasa, Akil mengerti bahwa setiap
pekerjaan harus dijalankan dengan serius, bukan sambil lalu. “Wak (ayah)
saya itu mengajarkan tidak dengan omongan, tapi dengan perilaku,”
katanya. Ibunda Akil, yang biasa ia panggil Ummi, juga menerapkan
disiplin tinggi. Cara mendidiknya lebih tegas dibanding sang ayah. Dari
didikan kedua orang tuanya itu, Akil tampil menjadi sosok yang siap
berjuang di segala medan.
Berjuang Menggapai Sarjana
Selepas
SMA, Akil terobsesi untuk menggapai gelar sarjana. Tetapi, karena
keluarga tak punya biaya, ia memutuskan merantau. Di rantau, ia lalu
kerja serabutan, mulai dari loper koran, sopir cadangan, sampai broker
sepeda motor. Agar bisa kuliah sehabis bekerja, ia memilih kampus
swasta, Universitas Panca Bhakti, Pontianak.
Sebenarnya Akil
mendambakan bisa diterima di fakultas pertanian. Namun, jurusan itu
belum ada di kampusnya kala itu. Alternatifnya, ia masuk fakultas hukum.
Ketika masih kuliah, Akil diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS) Departeman Dalam Negeri (Depdagri). Namun, ia kemudian
mengundurkan diri. Alasannya, ia ingin lebih mandiri dan fokus pada
studi. “Saya pikir dengan punya ijazah sarjana saya bisa mengembangkan
lagi,” ujar mantan politisi yang pernah bercita-cita menjadi jaksa itu.
Meski
sibuk bekerja, karena nalurinya yang tinggi berorganisasi, Akil tetap
aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan. Ia menjadi Ketua Senat FH
Universitas Panca Bhakti dan Komandan Batalyon Resimen Mahasiswa. Ia
juga menjadi aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI), maupun Pemuda Pancasila (PP). Akil berhasil
menamatkan pendidikan tingginya dan meraih dua gelar sekaligus, Sarjana
Muda Hukum (SMHK) dan Sarjana Hukum (SH). “Wah itu udah hebat, karena
dulu jadi jaksa dan hakim SMHK itu bisa,” kenang Akil.
Dari Advokat, Legislatif, ke Judikatif
Setelah
bergelar sarjana, Akil langsung menekuni dunia pengacara. Ia bergabung
di kantor kawannya, Buyung Panggabean Associates. Pekerjaan barunya
dimulai dari menjadi sopir, tukang ketik, hingga penyusun berkas
perkara. Lalu Akil mengikuti ujian advokat dan mewakili kantornya
beracara di Pengadilan Singkawang. Tidak berselang lama, ia lulus
sebagai advokat angkatan pertama dari Kalimantan Barat.
Setelah
dua tahun berkarir, Akil membangun kantor sendiri. Popularitasnya
mencuat ketika ia menjadi kuasa hukum kasus salah vonis “Sengkon-Karta
Jilid II” yang banyak mengundang perhatian media nasional. Sedemikian
populernya, kasus tersebut dibukukan dengan judul Jalan Sumir Menggapai
Keadilan yang diterbitkan Gramedia, Jakarta.
Pada 1998, Akil
berjumpa dengan anggota DPRD Golkar yang mengajak bergabung dengan
Partai Golkar. Usianya masih 37 tahun ketika ia memutuskan untuk terjun
ke dunia politik. Ketika itu, ia terpilih sebagai Wakil Ketua DPD Golkar
provinsi. “Akhirnya saya jadi pengurus teras di Golkar,” ujarnya.
Pada
1999, ia terpilih sebagai anggota DPR dari Daerah Pemilihan Kapuas
Hulu. Akil ditempatkan di Komisi II yang membidangi hukum dan
pemerintahan. Periode berikutnya, ia menjadi anggota Komisi III DPR
dengan perolehan suara terbanyak, yakni 167.000 suara.
Sepanjang
karir politiknya di parlemen, berulang kali Akil menelurkan
undang-undang sebagai ketua panitia khusus. Ia juga memimpin uji
kelayakan dan kepatutan Kapolri, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), dan pimpinan Komisi Yudisial (KY)
Berdiri di Atas Semua Golongan
Saat
dibuka rekrutmen calon hakim konstitusi di DPR, kolega Akil
mendorongnya untuk mencalonkan diri. Batinnya menghadapi dilema kala
itu. Ia berpikir, dari sisi pendidikan dan kemampuan, mungkin ia mampu
memikul beban dan tanggungjawab sebagai hakim. “Tapi dari sisi perilaku,
saya adalah orang yang biasa dengan kebebasan berfikir dan berekspresi,
sebagai hakim berarti saya harus bisa menjaga sikap,” ungkap Akil.
Ia
lalu berdiskusi dengan banyak orang, termasuk sahabat-sahabatnya di
Pontianak. Dari mereka, ia mendapat pandangan bahwa mungkin sudah
waktunya bagi dia melepaskan diri dari kepentingan yang bersifat
parsial. “Sudah waktunya Abang berada pada posisi di atas semua
golongan, dan tempat itu adalah di MK,” ujar Akil menirukan nasihat dari
sahabatnya.
Setelah berpikir mendalam, memohon petunjuk Allah
SWT dan berunding dengan keluarga, akhirnya ia berketetapan hati untuk
menjadi hakim konstitusi. Bagi Akil, menjadi hakim konstitusi bukan
semata sebagai pekerjaan, melainkan sebuah pengabdian. “Saya pernah jadi
advokat 18 tahun, saya juga pernah beracara di MK mewakili DPR, itu
modal sosial saya,” ujarnya.
Inspirasi Kehidupan
Apa
yang diraih Akil hingga kini tidak terlepas dari filosofi bahwa hidup
adalah perjuangan. Bagi dia, semua orang adalah pejuang, dan perjuangan
itu tidak akan pernah berhenti. Pejuang tak selalu menjadi pahlawan,
sebab terkadang juga mendapat caci maki. Oleh sebab itu seorang pejuang
tidak harus selalu mendapat tempat yang terhormat. “Tapi kalau pahlawan
dia harus selalu mendapat tempat yang terhormat,” ujar pengurus Lembaga
Hikmah PP Muhammadiyah itu.
Akil ingin menjadi pejuang, karena
ketika ia berhasil kehormatanlah yang ia peroleh. Bisa saja ia dilupakan
orang, atau bahkan mendapat cacian. Namun, itu semua bukan soal
baginya, sebab itulah perjuangan hidup. “Itu yang memotivasi saya,” ujar
mantan Ketua Alumni Resimen Mahasiswa Kalimantan Barat itu.
Ekspektasi untuk MK ke Depan
Akil
memiliki pandangan dan harapan untuk MK ke depan. Menurutnya, MK harus
lebih responsif mengakomodasi setiap persoalan yang terkait erat dengan
keadilan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Sebab, MK lahir dari
kerangka checks and balances itu. “Bagaimana implementasi checks and
balances itu dalam memberikan kesetaraan dan keadilan masyarakat,”
ujarnya.
Secara institusional, menurut Akil, MK sudah sejalan
dengan misi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern
dan terpercaya. Ia berharap, dari sisi kelembagaan, MK bisa menjadi
sebuah contoh atau model peradilan modern di Indonesia.
Namun,
Akil menambahkan, peradilan modern itu harus didukung fasilitas dan
sumber daya manusia yang memadai. “Untuk itu harus ditunjang sarana dan
prasarana yang tidak hanya memadai tetapi lebih baik,” ujarnya.
Personalnya harus terlatih dengan tingkat penghasilan yang lebih tinggi
dibanding dari institusi peradilan lain. Sebab, sekalipun teknologi
informasi dan SDM-nya bagus, namun jika tingkat kesejahteraan pegawainya
rendah, akan repot. Ia berharap, ada pembenahan internal menuju sistem
yang lebih baik.
Sedangkan soal wacana memperluas kewenangan MK,
bagi Akil, harus ditinjau dari kemanfaatannya. Dalam pandangan Akil,
hal yang sangat urgen dalam konteks perluasan kewenangan MK adalah
kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang, yang saat ini masih menjadi yurisdiksi MA. Apabila
kewenangan tersebut diberikan kepada MK, ia berharap akan ada tafsir
peraturan perundang-undangan yang seragam.
Dengan demikian, MK
dapat memberikan kepastian hukum. Apalagi banyak sekali peraturan
pemerintah yang bertentangan dengan undang-undang. Demikian pula
keputusan presiden yang bersifat regeling, memaksa hak-hak warga negara.
Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id